Ancaman Bagi Wanita yang Membuka
Auratnya
Definisi Aurat
Menurut pengertian bahasa
(literal), aurat adalah al-nuqshaan wa al-syai’ al-mustaqabbih (kekurangan dan
sesuatu yang mendatangkan celaan). Diantara bentuk pecahan katanya adalah
‘awara`, yang bermakna qabiih (tercela); yakni aurat manusia dan semua yang
bisa menyebabkan rasa malu. Disebut aurat, karena tercela bila terlihat
(ditampakkan).
Imam al-Raziy, dalam kamus
Mukhtaar al-Shihaah hal 461, menyatakan, “‘al-aurat: sau`atu al-insaan wa kullu
maa yustahyaa minhu (aurat adalah aurat manusia dan semua hal yang menyebabkan
malu.”
Dalam Syarah Sunan Ibnu Majah juz
1/276, disebutkan, bahwa aurat adalah kullu maa yastahyii minhu wa yasuu`u
shahibahu in yura minhu (setiap yang menyebabkan malu, dan membawa aib bagi
pemiliknya jika terlihat)”.
Imam Syarbiniy dalam kitab
Mughniy al-Muhtaaj, berkata,” Secara literal, aurat bermakna al-nuqshaan
(kekurangan) wa al-syai`u al-mustaqbihu (sesuatu yang menyebabkan
celaan).Disebut seperti itu, karena ia akan menyebabkan celaan jika terlihat.“
Dalam kamus Lisaan al-’Arab juz
4/616, disebutkan, “Kullu ‘aib wa khalal fi syai’ fahuwa ‘aurat (setiap aib dan
cacat cela pada sesuatu disebut dengan aurat). Wa syai` mu’wirun au ‘awirun:
laa haafidza lahu (sesuatu itu tidak memiliki penjaga (penahan)).”
Imam Syaukani, di dalam kitab
Fath al-Qadiir, menyatakan;
“Makna asal dari aurat adalah
al-khalal (aib, cela, cacat). Setelah itu, makna aurat lebih lebih banyak
digunakan untuk mengungkapkan aib yang terjadi pada sesuatu yang seharusnya
dijaga dan ditutup, yakni tiga waktu ketika penutup dibuka. Al-A’masy
membacanya dengan huruf wawu difathah; ‘awaraat. Bacaan seperti ini berasal
dari bahasa suku Hudzail dan Tamim.”
Batasan Aurat Menurut Madzhab
Syafi’iy
Di dalam kitab al-Muhadzdzab juz
1/64, Imam al-Syiraaziy berkata;
“Hadits yang diriwayatkan dari
Abu Sa’id al-Khuduriy, bahwasanya Nabi saw bersabda, “Aurat laki-laki adalah
antara pusat dan lutut. Sedangkan aurat wanita adalah seluruh badannya, kecuali
muka dan kedua telapak tangan.”
Mohammad bin Ahmad al-Syasyiy,
dalam kitab Haliyat al-’Ulama berkata;
“.. Sedangkan aurat wanita adalah
seluruh badan, kecuali muka dan kedua telapak tangan.”
Al-Haitsamiy, dalam kitab Manhaj
al-Qawiim juz 1/232, berkata;
“..Sedangkan aurat wanita merdeka,
masih kecil maupun dewasa, baik ketika sholat, berhadapan dengan laki-laki
asing (non mahram) walaupun di luarnya, adalah seluruh badan kecuali muka dan
kedua telapak tangan.”
Dalam kitab al-Umm juz 1/89
dinyatakan;
” ….Aurat perempuan adalah
seluruh badannya, kecuali muka dan kedua telapak tangan.”
Al-Dimyathiy, dalam kitab I’aanat
al-Thaalibiin, menyatakan;
“..aurat wanita adalah seluruh
badan kecuali muka dan telapak tangan”.
Di dalam kitab Mughniy
al-Muhtaaj, juz 1/185, Imam Syarbiniy menyatakan;
” …Sedangkan aurat wanita adalah
seluruh tubuh selain wajah dan kedua telapak tangan…”
Batasan Aurat Menurut Madzhab
Hanbaliy
Di dalam kitab al-Mubadda’, Abu
Ishaq menyatakan;
“Aurat laki-laki dan budak
perempuan adalah antara pusat dan lutut. Hanya saja, jika warna kulitnya yang
putih dan merah masih kelihatan, maka ia tidak disebut menutup aurat. Namun,
jika warna kulitnya tertutup, walaupun bentuk tubuhnya masih kelihatan, maka
sholatnya sah. Sedangkan aurat wanita merdeka adalah seluruh tubuh, hingga kukunya.
Ibnu Hubairah menyatakan, bahwa inilah pendapat yang masyhur. Al-Qadliy
berkata, ini adalah pendapat Imam Ahmad; berdasarkan sabda Rasulullah, “Seluruh
badan wanita adalah aurat” [HR. Turmudziy, hasan shahih]….Dalam madzhab ini
tidak ada perselisihan bolehnya wanita membuka wajahnya di dalam sholat,
seperti yang telah disebutkan. di dalam kitab al-Mughniy, dan lain-lainnya.”[1]
Di dalam kitab al-Mughniy, juz
1/349, Ibnu Qudamah menyatakan, bahwa
” Mayoritas ulama sepakat bahwa
seorang wanita boleh membuka wajah dan mereka juga sepakat; seorang wanita
mesti mengenakan kerudung yang menutupi kepalanya. Jika seorang wanita sholat,
sedangkan kepalanya terbuka, ia wajib mengulangi sholatnya….Abu Hanifah
berpendapat, bahwa kedua mata kaki bukanlah termasuk aurat..Imam Malik,
Auza’iy, dan Syafi’iy berpendirian; seluruh tubuh wanita adalah aurat, kecuali
muka dan kedua telapak tangan. Selain keduanya (muka dan telapak tangan) wajib
untuk ditutup ketika hendak mengerjakan sholat…”
Di dalam kitab al-Furuu juz 1/285′,
karya salah seorang ulama Hanbaliy, dituturkan sebagai berikut;
“Seluruh tubuh wanita merdeka
adalah aurat kecuali muka, dan kedua telapak tangan –ini dipilih oleh mayoritas
ulama…..”
Batasan Aurat Menurut Madzhab
Malikiy
Dalam kitab Kifayaat al-Thaalib
juz 1/215, Abu al-Hasan al-Malikiy menyatakan, ““Aurat wanita merdeka adalah
seluruh tubuh, kecuali muka dan kedua telapak tangan..”.
Dalam Hasyiyah Dasuqiy juz 1/215,
dinyatakaN, “Walhasil, aurat haram untuk dilihat meskipun tidak dinikmati. Ini
jika aurat tersebut tidak tertutup. Adapun jika aurat tersebut tertutup, maka
boleh melihatnya. Ini berbeda dengan menyentuh di atas kain penutup; hal ini
(menyentuh aurat yang tertutup) tidak boleh jika kain itu bersambung (melekat)
dengan auratnya, namun jika kain itu terpisah dari auratnya, …sedangkan aurat
wanita muslimah adalah selain wajah dan kedua telapak tangan…”
Dalam kitab Syarah al-Zarqaaniy,
disebutkan, “Yang demikian itu diperbolehkan.Sebab, aurat wanita adalah seluruh
tubuh kecuali muka dan telapak tangan…”
Mohammad bin Yusuf, dalam kitab
al-Taaj wa al-Ikliil, berkata, “….Aurat budak perempuan adalah seluruh tubuh
kecuali wajah dan kedua telapak tangan dan tempat kerudung (kepala)…Untuk
seorang wanita, boleh ia menampakkan kepada wanita lain sebagaimana ia boleh
menampakkannya kepada laki-laki –menurut Ibnu Rusyd, tidak ada perbedaan
pendapat dalam hal ini-, wajah dan kedua telapak tangan..”
Batasan Aurat Menurut Madzhab
Hanafiy
Abu al-Husain, dalam kitab
al-Hidayah Syarh al-Bidaayah mengatakan;
“Adapun aurat laki-laki adalah
antara pusat dan lututnya…ada pula yang meriwayatkan bahwa selain pusat hingga
mencapai lututnya. Dengan demikian, pusat bukanlah termasuk aurat. Berbeda
dengan apa yang dinyatakan oleh Imam Syafi’iy ra, lutut termasuk aurat.Sedangkan
seluruh tubuh wanita merdeka adalah aurat kecuali muka dan kedua telapak
tangan…”
Dalam kitab Badaai’ al-Shanaai’
disebutkan;
“Oleh karena itu, menurut madzhab
kami, lutut termasuk aurat, sedangkan pusat tidak termasuk aurat. Ini berbeda
dengan pendapat Imam Syafi’iy. Yang benar adalah pendapat kami, berdasarkan
sabda Rasulullah saw, “Apa yang ada di bawah pusat dan lutut adalah aurat.” Ini
menunjukkan bahwa lutut termasuk aurat.”
Aurat Wanita; Seluruh Tubuh
Selain Muka dan Kedua Telapak Tangan
Jumhur ‘ulama bersepakat; aurat
wanita meliputi seluruh tubuh, kecuali muka dan kedua telapak tangan. Dalilnya
adalah firman Allah swt:
“Katakanlah kepada wanita yang beriman:
“Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak
daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan
janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah
mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera
suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara
laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau
wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan
laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang
belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya
agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu
sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu
beruntung.”[al-Nuur:31]
Menurut Imam Thabariy dalam
Tafsir al-Thabariy, juz 18/118, makna yang lebih tepat untuk “perhiasan yang
biasa tampak” adalah muka dan telapak tangan. Keduanya bukanlah aurat, dan
boleh ditampakkan di kehidupan umum. Sedangkan selain muka dan telapak tangan
adalah aurat, dan tidak boleh ditampakkan kepada laki-laki asing, kecuali suami
dan mahram. Penafsiran semacam ini didasarkan pada sebuah riwayat shahih;
Aisyah ra telah menceritakan, bahwa Asma binti Abu Bakar masuk ke ruangan
wanita dengan berpakaian tipis, maka Rasulullah saw. pun berpaling seraya
berkata;
“Wahai Asma’ sesungguhnya
perempuan itu jika telah baligh tidak pantas menampakkan tubuhnya kecuali ini
dan ini, sambil menunjuk telapak tangan dan wajahnya.”[HR. Muslim]
Imam Qurthubiy Tafsir Qurthubiy,
juz 12/229; Imam Al-Suyuthiy, Durr al-Mantsuur, juz 6/178-182; Zaad al-Masiir,
juz 6/30-32; menyatakan, bahwa ayat di atas merupakan perintah dari Allah swt
kepada wanita Mukminat agar tidak menampakkan perhiasannya kepada para
laki-laki penglihat, kecuali hal-hal yang dikecualikan bagi para laki-laki
penglihat. Selanjutnya, Allah swt mengecualikan perhiasan-perhiasan yang boleh
dilihat oleh laki-laki penglihat, pada frase selanjutnya. Hanya saja, para
ulama berbeda pendapat mengenai batasan perhiasan yang boleh ditampakkan oleh
wanita. Ibnu Mas’ud mengatakan, bahwa maksud frase “illa ma dzahara minha”
adalah dzaahir al-ziinah” (perhiasan dzahir), yakni baju. Sedangkan menurut
Ibnu Jabir adalah baju dan wajah. Sa’id bin Jabiir, ‘Atha’ dan Auza’iy
berpendapat; muka, kedua telapak tangan, dan baju.
Menurut Imam al-Nasafiy, yang
dimaksud dengan “al-ziinah” (perhiasan) adalah semua yang digunakan oleh wanita
untuk berhias, misalnya, cincin, kalung, gelang, dan sebagainya.Sedangkan yang
dimaksud dengan “al-ziinah” (perhiasan) di sini adalah “mawaadli’ al-ziinah”
(tempat menaruh perhiasan). Artinya, maksud dari ayat di atas adalah “janganlah
kalian menampakkan anggota tubuh yang biasa digunakan untuk menaruh perhiasan,
kecuali yang biasa tampak; yakni muka, kedua telapak tangan, dan dua mata
kaki”[4].
Syarat-syarat Menutup Aurat
Menutup aurat harus dilakukan
hingga warna kulitnya tertutup. Seseorang tidak bisa dikatakan melakukan “satru
al-’aurat” (menutup aurat) jika auratnya sekedar ditutup dengan kain atau
sesuatu yang tipis hingga warna kulitnya masih tampak kehilatan. Dalil yang
menunjukkan ketentuan ini adalah sebuah hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah
ra, ra bahwasanya Asma’ binti Abubakar telah masuk ke ruangan Nabi saw dengan
berpakaian tipis/transparan, lalu Rasulullah saw. berpaling seraya bersabda,
“Wahai Asma sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) tidak
pantas baginya untuk menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini.”
Dalam hadits ini, Rasulullah saw.
menganggap bahwa Asma’ belum menutup auratnya, meskipun Asma telah menutup
auratnya dengan kain transparan. Oleh karena itu lalu Nabi saw berpaling seraya
memerintahkannya menutupi auratnya, yaitu mengenakan pakaian yang dapat
menutupi .Dalil lain yang menunjukkan masalah ini adalah hadits riwayat Usamah,
bahwasanya ia ditanyai oleh Nabi saw tentang kain tipis. Usamah menjawab,
bahwasanya ia telah mengenakannya terhadap isterinya, maka Rasulullah saw.
bersabda kepadanya:
“Suruhlah isterimu melilitkan di
bagian dalam kain tipis, karena sesungguhnya aku khawatir kalau-kalau nampak
lekuk tubuhnya.”
Qabtiyah dalam lafadz di atas
adalah sehelai kain tipis. Oleh karena itu tatkala Rasulullah saw. mengetahui
bahwasanya Usamah mengenakan kepada isterinya kain tipis, beliau memerintahkan
agar kain itu dikenakan pada bagian dalam kain supaya tidak kelihatan warna
kulitnya. Beliau bersabda,”Suruhlah isterimu melilitkan di bagian dalamnya
kain tipis.” Kedua hadits ini menunjukkan dengan sangat jelas, bahwasanya aurat
harus ditutup dengan sesuatu, hingga warna kulitnya tidak tampak.
Khimar (Kerudung) dan Jilbab;
Busana Wanita Di Luar Rumah
Selain memerintahkan wanita untuk
menutup auratnya, syariat Islam juga mewajibkan wanita untuk mengenakan busana
khusus ketika hendak keluar rumah. Sebab, Islam telah mensyariatkan pakaian
tertentu yang harus dikenakan wanita ketika berada depan khalayak umum.
Kewajiban wanita mengenakan busana Islamiy ketika keluar rumah merupakan
kewajiban tersendiri yang terpisah dari kewajiban menutup aurat. Dengan kata
lain, kewajiban menutup aurat adalah satu sisi, sedangkan kewajiban mengenakan
busana Islamiy (jilbab dan khimar) adalah kewajiban di sisi yang lain. Dua
kewajiban ini tidak boleh dicampuradukkan, sehingga muncul persepsi yang salah
terhadap keduanya.
Dalam konteks “menutup aurat”
(satru al-’aurat), syariat Islam tidak mensyaratkan bentuk pakaian tertentu,
atau bahan tertentu untuk dijadikan sebagai penutup aurat. Syariat hanya
mensyaratkan agar sesuatu yang dijadikan penutup aurat, harus mampu menutupi
warna kulit.Oleh karena itu, seorang wanita Muslim boleh saja mengenakan
pakaian dengan model apapun, semampang bisa menutupi auratnya secara sempurna.
Hanya saja, ketika ia hendak keluar dari rumah, ia tidak boleh pergi dengan
pakaian sembarang, walaupun pakaian itu bisa menutupi auratnya dengan sempurna.
Akan tetapi, ia wajib mengenakan khimar (kerudung) dan jilbab yang dikenakan di
atas pakaian biasanya. Sebab, syariat telah menetapkan jilbab dan khimar
sebagai busana Islamiy yang wajib dikenakan seorang wanita Muslim ketika berada
di luar rumah, atau berada di kehidupan umum.
Walhasil, walaupun seorang wanita
telah menutup auratnya, yakni menutup seluruh tubuhnya, kecuali muka dan kedua
telapak tangan, ia tetap tidak boleh keluar keluar dari rumah sebelum
mengenakan khimar dan jilbab.
Perintah Mengenakan Khimar
Pakaian yang telah ditetapkan
oleh syariat Islam bagi wanita ketika ia keluar di kehidupan umum adalah khimar
dan jilbab. Dalil yang menunjukkan perintah ini adalah firman Allah swt;
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung
ke dadanya..”[al-Nuur:31]
Ayat ini berisi perintah dari
Allah swt agar wanita mengenakan khimar (kerudung), yang bisa menutup kepala,
leher, dan dada.
Imam Ibnu Mandzur di dalam kitab Lisaan
al-’Arab menuturkan; al-khimaar li al-mar`ah : al-nashiif (khimar bagi
perempuan adalah al-nashiif (penutup kepala). Ada pula yang menyatakan; khimaar
adalah kain penutup yang digunakan wanita untuk menutup kepalanya. Bentuk
pluralnya adalah akhmirah, khumr atau khumur. [5]
Khimar (kerudung) adalah ghitha’
al-ra’si ‘ala shudur (penutup kepala hingga mencapai dada), agar leher dan
dadanya tidak tampak.[6]
Dalam Kitab al-Tibyaan fi Tafsiir
Ghariib al-Quran dinyatakan;
“Khumurihinna, bentuk jamak
(plural) dari khimaar, yang bermakna al-miqna’ (penutup kepala).Dinamakan
seperti itu karena, kepala ditutup dengannya (khimar)..”[7]
Ibnu al-’Arabiy di dalam kitab
Ahkaam al-Quran menyatakan, “Jaib” adalah kerah baju, dan khimar adalah penutup
kepala . Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Aisyah ra, bahwasanya ia
berkata, “Semoga Allah mengasihi wanita-wanita Muhajir yang pertama. Ketika
diturunkan firman Allah swt “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung
mereka ke dada mereka”, mereka membelah kain selendang mereka”. Di dalam
riwayat yang lain disebutkan, “Mereka membelah kain mereka, lalu berkerudung
dengan kain itu, seakan-akan siapa saja yang memiliki selendang, dia akan
membelahnya selendangnya, dan siapa saja yang mempunyai kain, ia akan membelah
kainnya.” Ini menunjukkan, bahwa leher dan dada ditutupi dengan kain yang
mereka miliki.”[8]
Di dalam kitab Fath al-Baariy, al-Hafidz Ibnu
Hajar menyatakan, “Adapun yang dimaksud dengan frase “fakhtamarna bihaa” (lalu
mereka berkerudung dengan kain itu), adalah para wanita itu meletakkan kerudung
di atas kepalanya, kemudian menjulurkannya dari samping kanan ke pundak kiri. Itulah
yang disebut dengan taqannu’ (berkerudung). Al-Farra’ berkata,”Pada masa
jahiliyyah, wanita mengulurkan kerudungnya dari belakang dan membuka bagian
depannya. Setelah itu, mereka diperintahkan untuk menutupinya. Khimar
(kerudung) bagi wanita mirip dengan ‘imamah (sorban) bagi laki-laki.” [9]
Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir
Ibnu Katsir menyatakan;
“Khumur adalah bentuk jamak
(plural) dari khimaar; yakni apa-apa yang bisa menutupi kepala.Khimaar
kadang-kadang disebut oleh masyarakat dengan kerudung (al-miqaana’), Sa’id bin
Jabir berkata, “wal yadlribna : walyasydadna bi khumurihinna ‘ala juyuubihinna,
ya’ni ‘ala al-nahr wa al-shadr, fa laa yara syai` minhu (walyadlribna :
ulurkanlah kerudung-kerudung mereka di atas kerah mereka, yakni di atas leher
dan dada mereka, sehingga tidak terlihat apapun darinya).”[10]
Imam Syaukaniy dalam Fath
al-Qadiir, berkata;
“Khumur adalah bentuk plural dari
khimar; yakni apa-apa yang digunakan penutup kepala oleh seorang
wanita..al-Juyuub adalah bentuk jamak dari jaib yang bermakna al-qath’u min
dur’u wa al-qamiish (kerah baju)..Para ahli tafsir mengatakan; dahulu,
wanita-wanita jahiliyyah menutupkan kerudungnya ke belakang, sedangkan kerah
baju mereka bagian depan terlalu lebar (luas), hingga akhirnya, leher dan
kalung mereka terlihat. Setelah itu, mereka diperintahkan untuk mengulurkan
kain kerudung mereka di atas dada mereka untuk menutup apa yang selama ini
tampak”.[11]
Dalam kitab Zaad al-Masiir,
dituturkan;
“Khumur adalah bentuk jamak dari
khimar, yakni maa tughthiy bihi al-mar`atu ra`sahaa (apa-apa yang digunakan
wanita untuk menutupi kepalanya). Makna ayat ini (al-Nuur:31) adalah hendaknya
para wanita itu menjulurkan kerudungnya (al-miqna’) di atas dada mereka; yang
dengan itu, mereka bisa menutupi rambut, anting-anting, dan leher mereka.”[12]
Perintah Mengenakan Jilbab
Adapun kewajiban mengenakan
jilbab bagi wanita Mukminat dijelaskan di dalam surat al-Ahzab ayat 59. Allah
swt berfirman :
“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu,
anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka
lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah
Maha pengampun lagi Maha penyayang”.[al-Ahzab:59]
Ayat ini merupakan perintah yang
sangat jelas kepada wanita-wanita Mukminat untuk mengenakan jilbab. Adapun yang
dimaksud dengan jilbab adalah milhafah (baju kurung) dan mula’ah (kain panjang
yang tidak berjahit). Di dalam kamus al-Muhith dinyatakan, bahwa jilbab itu seperti
sirdaab (terowongan) atau sinmaar (lorong), yakni baju atau pakaian longgar
bagi wanita selain baju kurung atau kain apa saja yang dapat menutup pakaian
kesehariannya seperti halnya baju kurung.”[Kamus al-Muhith]. Sedangkan dalam
kamus al-Shahhah, al-Jauhari mengatakan, “jilbab adalah kain panjang dan
longgar (milhafah) yang sering disebut dengan mula’ah (baju kurung).”[Kamus
al-Shahhah, al-Jauhariy]
Di dalam kamus Lisaan al-’Arab
dituturkan; al-jilbab ; al-qamish (baju); wa al-jilbaab tsaub awsaa’ min
al-khimaar duuna ridaa’ tughthi bihi al-mar`ah ra’sahaa wa shadrahaa (baju yang
lebih luas daripada khimar, namun berbeda dengan ridaa’, yang dikenakan wanita
untuk menutupi kepala dan dadanya.” Ada pula yang mengatakan al-jilbaab: tsaub
al-waasi’ duuna milhafah talbasuhaa al-mar`ah (pakaian luas yang berbeda dengan
baju kurung, yang dikenakan wanita). Ada pula yang menyatakan; al-jilbaab :
al-milhafah (baju kurung).[13]
Al-Zamakhsyariy, dalam tafsir
al-Kasysyaf menyatakan, “Jilbab adalah pakaian luas, dan lebih luas daripada
kerudung, namun lebih sempit daripada rida’ (juba).[14]
Imam Qurthubiy di dalam Tafsir Qurthubiy
menyatakan, “Jilbaab adalah tsaub al-akbar min al-khimaar (pakaian yang lebih
besar daripada kerudung). Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Mas’ud,
jilbaab adalah ridaa’ (jubah atau mantel). Ada pula yang menyatakan ia adalah
al-qanaa’ (kerudung). Yang benar, jilbab adalah tsaub yasturu jamii’ al-badan
(pakaian yang menutupi seluruh badan). Di dalam shahih Muslim diriwayatkan
sebuah hadits dari Ummu ‘Athiyyah, bahwasanya ia berkata, “Ya Rasulullah ,
salah seorang wanita diantara kami tidak memiliki jilbab.Nabi
menjawab,”Hendaknya, saudaranya meminjamkan jilbab untuknya”.[15]
Dalam Tafsir Ibnu Katsir, Imam Ibnu Katsir
menyatakan, “al-jilbaab huwa al-ridaa` fauq al-khimaar (jubah yang dikenakan di
atas kerudung). Ibnu Mas’ud, ‘Ubaidah, Qatadah, al-Hasan al-Bashriy, Sa’id bin
Jabiir, Ibrahim al-Nakha’iy, ‘Atha’ al-Khuraasaniy, dan lain-lain, berpendapat
bahwa jilbab itu kedudukannya sama dengan (al-izaar) sarung pada saat ini.
Al-Jauhariy berkata, “al-Jilbaab; al-Milhafah (baju kurung).”[16]
Imam Syaukani, dalam Tafsir Fathu al-Qadiir,
mengatakan;
“Al-jilbaab wa huwa al-tsaub
al-akbar min al-khimaar (pakaian yang lebih besar dibandingkan kerudung).
Al-Jauhari berkata, “al-Jilbaab; al-milhafah (baju kurung). Ada yang menyatakan
al-qanaa’ (kerudung), ada pula yang menyatakan tsaub yasturu jamii’ al-badan
al-mar`ah.”[17]
Al-Hafidz al-Suyuthiy dalam
Tafsir Jalalain berkata;
” Jilbaab adalah al-mulaa`ah
(kain panjang yang tak berjahit) yang digunakan selimut oleh wanita, yakni,
sebagiannya diulurkan di atas wajahnya, jika seorang wanita hendak keluar untuk
suatu keperluan, hingga tinggal satu mata saja yang tampak”[18]
Ancaman Bagi Orang yang Membuka
Auratnya
Imam Muslim menuturkan sebuah
riwayat, bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
“Ada dua golongan manusia yang menjadi
penghuni neraka, yang sebelumnya aku tidak pernah melihatnya; yakni, sekelompok
orang yang memiliki cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk menyakiti
umat manusia; dan wanita yang membuka auratnya dan berpakaian tipis merangsang
berlenggak-lenggok dan berlagak, kepalanya digelung seperti punuk onta. Mereka
tidak akan dapat masuk surga dan mencium baunya. Padahal, bau surga dapat
tercium dari jarak sekian-sekian.”[HR. Imam Muslim].
Di dalam Syarah Shahih Muslim,
Imam Nawawiy berkata, “Hadits ini termasuk salah satu mukjizat kenabian.
Sungguh, akan muncul kedua golongan itu. Hadits ini bertutur tentang celaan
kepada dua golongan tersebut. Sebagian ‘ulama berpendapat, bahwa maksud dari
hadits ini adalah wanita-wanita yang ingkar terhadap nikmat, dan tidak pernah
bersyukur atas karunia Allah.Sedangkan ulama lain berpendapat, bahwa mereka
adalah wanita-wanita yang menutup sebagian tubuhnya, dan menyingkap sebagian
tubuhnya yang lain, untuk menampakkan kecantikannya atau karena tujuan yang
lain. Sebagian ulama lain berpendapat, mereka adalah wanita yang mengenakan
pakaian tipis yang menampakkan warna kulitnya (transparan)…Kepala mereka
digelung dengan kain kerudung, sorban, atau yang lainnya, hingga tampak besar
seperti punuk onta.”
Imam Ahmad juga meriwayatkan
sebuah hadits dari Abu Hurairah dengan redaksi berbeda.
“Ada dua golongan penghuni neraka, yang aku
tidak pernah melihat keduanya sebelumnya. Wanita-wanita yang telanjang,
berpakaian tipis, dan berlenggak-lenggok, dan kepalanya digelung seperti punuk
onta. Mereka tidak akan masuk surga, dan mencium baunya. Dan laki-laki yang
memiliki cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk menyakiti umat manusia
“[HR. Imam Ahmad]
Hadits-hadits di atas merupakan
ancaman yang sangat keras bagi wanita yang menampakkan sebagian atau
keseluruhan auratnya, berbusana tipis, dan berlenggak-lenggok.
Kesimpulan
Syariat Islam telah mewajibkan
wanita untuk menutup anggota tubuhnya yang termasuk aurat. Seorang wanita
diharamkan menampakkan auratnya di kehidupan umum, di hadapan laki-laki non
mahram, atau ketika ia melaksanakan ibadah-ibadah tertentu yang mensyaratkan
adanya satru al-’aurat (menutup aurat).
Aurat wanita adalah seluruh tubuh
kecuali muka dan kedua telapak tangan. Seseorang baru disebut menutup aurat,
jika warna kulit tubuhnya tidak lagi tampak dari luar. Dengan kata lain,
penutup yang digunakan untuk menutup aurat tidak boleh transparan hingga warna
kulitnya masih tampak; akan tetapi harus mampu menutup warna kulit.
Ancaman bagi yang tidak menurut
aurat adalah tidak mencium bau surge alias neraka, karena tidak amanah, tidak
tunduk kepada aturan sang Kholik.
Definisi Aurat
Menurut pengertian bahasa
(literal), aurat adalah al-nuqshaan wa al-syai’ al-mustaqabbih (kekurangan dan
sesuatu yang mendatangkan celaan). Diantara bentuk pecahan katanya adalah
‘awara`, yang bermakna qabiih (tercela); yakni aurat manusia dan semua yang
bisa menyebabkan rasa malu. Disebut aurat, karena tercela bila terlihat
(ditampakkan).
Imam al-Raziy, dalam kamus
Mukhtaar al-Shihaah hal 461, menyatakan, “‘al-aurat: sau`atu al-insaan wa kullu
maa yustahyaa minhu (aurat adalah aurat manusia dan semua hal yang menyebabkan
malu.”
Dalam Syarah Sunan Ibnu Majah juz
1/276, disebutkan, bahwa aurat adalah kullu maa yastahyii minhu wa yasuu`u
shahibahu in yura minhu (setiap yang menyebabkan malu, dan membawa aib bagi
pemiliknya jika terlihat)”.
Imam Syarbiniy dalam kitab
Mughniy al-Muhtaaj, berkata,” Secara literal, aurat bermakna al-nuqshaan
(kekurangan) wa al-syai`u al-mustaqbihu (sesuatu yang menyebabkan
celaan).Disebut seperti itu, karena ia akan menyebabkan celaan jika terlihat.“
Dalam kamus Lisaan al-’Arab juz
4/616, disebutkan, “Kullu ‘aib wa khalal fi syai’ fahuwa ‘aurat (setiap aib dan
cacat cela pada sesuatu disebut dengan aurat). Wa syai` mu’wirun au ‘awirun:
laa haafidza lahu (sesuatu itu tidak memiliki penjaga (penahan)).”
Imam Syaukani, di dalam kitab
Fath al-Qadiir, menyatakan;
“Makna asal dari aurat adalah
al-khalal (aib, cela, cacat). Setelah itu, makna aurat lebih lebih banyak
digunakan untuk mengungkapkan aib yang terjadi pada sesuatu yang seharusnya
dijaga dan ditutup, yakni tiga waktu ketika penutup dibuka. Al-A’masy
membacanya dengan huruf wawu difathah; ‘awaraat. Bacaan seperti ini berasal
dari bahasa suku Hudzail dan Tamim.”
Batasan Aurat Menurut Madzhab
Syafi’iy
Di dalam kitab al-Muhadzdzab juz
1/64, Imam al-Syiraaziy berkata;
“Hadits yang diriwayatkan dari
Abu Sa’id al-Khuduriy, bahwasanya Nabi saw bersabda, “Aurat laki-laki adalah
antara pusat dan lutut. Sedangkan aurat wanita adalah seluruh badannya, kecuali
muka dan kedua telapak tangan.”
Mohammad bin Ahmad al-Syasyiy,
dalam kitab Haliyat al-’Ulama berkata;
“.. Sedangkan aurat wanita adalah
seluruh badan, kecuali muka dan kedua telapak tangan.”
Al-Haitsamiy, dalam kitab Manhaj
al-Qawiim juz 1/232, berkata;
“..Sedangkan aurat wanita merdeka,
masih kecil maupun dewasa, baik ketika sholat, berhadapan dengan laki-laki
asing (non mahram) walaupun di luarnya, adalah seluruh badan kecuali muka dan
kedua telapak tangan.”
Dalam kitab al-Umm juz 1/89
dinyatakan;
” ….Aurat perempuan adalah
seluruh badannya, kecuali muka dan kedua telapak tangan.”
Al-Dimyathiy, dalam kitab I’aanat
al-Thaalibiin, menyatakan;
“..aurat wanita adalah seluruh
badan kecuali muka dan telapak tangan”.
Di dalam kitab Mughniy
al-Muhtaaj, juz 1/185, Imam Syarbiniy menyatakan;
” …Sedangkan aurat wanita adalah
seluruh tubuh selain wajah dan kedua telapak tangan…”
Batasan Aurat Menurut Madzhab
Hanbaliy
Di dalam kitab al-Mubadda’, Abu
Ishaq menyatakan;
“Aurat laki-laki dan budak
perempuan adalah antara pusat dan lutut. Hanya saja, jika warna kulitnya yang
putih dan merah masih kelihatan, maka ia tidak disebut menutup aurat. Namun,
jika warna kulitnya tertutup, walaupun bentuk tubuhnya masih kelihatan, maka
sholatnya sah. Sedangkan aurat wanita merdeka adalah seluruh tubuh, hingga kukunya.
Ibnu Hubairah menyatakan, bahwa inilah pendapat yang masyhur. Al-Qadliy
berkata, ini adalah pendapat Imam Ahmad; berdasarkan sabda Rasulullah, “Seluruh
badan wanita adalah aurat” [HR. Turmudziy, hasan shahih]….Dalam madzhab ini
tidak ada perselisihan bolehnya wanita membuka wajahnya di dalam sholat,
seperti yang telah disebutkan. di dalam kitab al-Mughniy, dan lain-lainnya.”[1]
Di dalam kitab al-Mughniy, juz
1/349, Ibnu Qudamah menyatakan, bahwa
” Mayoritas ulama sepakat bahwa
seorang wanita boleh membuka wajah dan mereka juga sepakat; seorang wanita
mesti mengenakan kerudung yang menutupi kepalanya. Jika seorang wanita sholat,
sedangkan kepalanya terbuka, ia wajib mengulangi sholatnya….Abu Hanifah
berpendapat, bahwa kedua mata kaki bukanlah termasuk aurat..Imam Malik,
Auza’iy, dan Syafi’iy berpendirian; seluruh tubuh wanita adalah aurat, kecuali
muka dan kedua telapak tangan. Selain keduanya (muka dan telapak tangan) wajib
untuk ditutup ketika hendak mengerjakan sholat…”
Di dalam kitab al-Furuu juz 1/285′,
karya salah seorang ulama Hanbaliy, dituturkan sebagai berikut;
“Seluruh tubuh wanita merdeka
adalah aurat kecuali muka, dan kedua telapak tangan –ini dipilih oleh mayoritas
ulama…..”
Batasan Aurat Menurut Madzhab
Malikiy
Dalam kitab Kifayaat al-Thaalib
juz 1/215, Abu al-Hasan al-Malikiy menyatakan, ““Aurat wanita merdeka adalah
seluruh tubuh, kecuali muka dan kedua telapak tangan..”.
Dalam Hasyiyah Dasuqiy juz 1/215,
dinyatakaN, “Walhasil, aurat haram untuk dilihat meskipun tidak dinikmati. Ini
jika aurat tersebut tidak tertutup. Adapun jika aurat tersebut tertutup, maka
boleh melihatnya. Ini berbeda dengan menyentuh di atas kain penutup; hal ini
(menyentuh aurat yang tertutup) tidak boleh jika kain itu bersambung (melekat)
dengan auratnya, namun jika kain itu terpisah dari auratnya, …sedangkan aurat
wanita muslimah adalah selain wajah dan kedua telapak tangan…”
Dalam kitab Syarah al-Zarqaaniy,
disebutkan, “Yang demikian itu diperbolehkan.Sebab, aurat wanita adalah seluruh
tubuh kecuali muka dan telapak tangan…”
Mohammad bin Yusuf, dalam kitab
al-Taaj wa al-Ikliil, berkata, “….Aurat budak perempuan adalah seluruh tubuh
kecuali wajah dan kedua telapak tangan dan tempat kerudung (kepala)…Untuk
seorang wanita, boleh ia menampakkan kepada wanita lain sebagaimana ia boleh
menampakkannya kepada laki-laki –menurut Ibnu Rusyd, tidak ada perbedaan
pendapat dalam hal ini-, wajah dan kedua telapak tangan..”
Batasan Aurat Menurut Madzhab
Hanafiy
Abu al-Husain, dalam kitab
al-Hidayah Syarh al-Bidaayah mengatakan;
“Adapun aurat laki-laki adalah
antara pusat dan lututnya…ada pula yang meriwayatkan bahwa selain pusat hingga
mencapai lututnya. Dengan demikian, pusat bukanlah termasuk aurat. Berbeda
dengan apa yang dinyatakan oleh Imam Syafi’iy ra, lutut termasuk aurat.Sedangkan
seluruh tubuh wanita merdeka adalah aurat kecuali muka dan kedua telapak
tangan…”
Dalam kitab Badaai’ al-Shanaai’
disebutkan;
“Oleh karena itu, menurut madzhab
kami, lutut termasuk aurat, sedangkan pusat tidak termasuk aurat. Ini berbeda
dengan pendapat Imam Syafi’iy. Yang benar adalah pendapat kami, berdasarkan
sabda Rasulullah saw, “Apa yang ada di bawah pusat dan lutut adalah aurat.” Ini
menunjukkan bahwa lutut termasuk aurat.”
Aurat Wanita; Seluruh Tubuh
Selain Muka dan Kedua Telapak Tangan
Jumhur ‘ulama bersepakat; aurat
wanita meliputi seluruh tubuh, kecuali muka dan kedua telapak tangan. Dalilnya
adalah firman Allah swt:
“Katakanlah kepada wanita yang beriman:
“Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak
daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan
janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah
mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera
suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara
laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau
wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan
laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang
belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya
agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu
sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu
beruntung.”[al-Nuur:31]
Menurut Imam Thabariy dalam
Tafsir al-Thabariy, juz 18/118, makna yang lebih tepat untuk “perhiasan yang
biasa tampak” adalah muka dan telapak tangan. Keduanya bukanlah aurat, dan
boleh ditampakkan di kehidupan umum. Sedangkan selain muka dan telapak tangan
adalah aurat, dan tidak boleh ditampakkan kepada laki-laki asing, kecuali suami
dan mahram. Penafsiran semacam ini didasarkan pada sebuah riwayat shahih;
Aisyah ra telah menceritakan, bahwa Asma binti Abu Bakar masuk ke ruangan
wanita dengan berpakaian tipis, maka Rasulullah saw. pun berpaling seraya
berkata;
“Wahai Asma’ sesungguhnya
perempuan itu jika telah baligh tidak pantas menampakkan tubuhnya kecuali ini
dan ini, sambil menunjuk telapak tangan dan wajahnya.”[HR. Muslim]
Imam Qurthubiy Tafsir Qurthubiy,
juz 12/229; Imam Al-Suyuthiy, Durr al-Mantsuur, juz 6/178-182; Zaad al-Masiir,
juz 6/30-32; menyatakan, bahwa ayat di atas merupakan perintah dari Allah swt
kepada wanita Mukminat agar tidak menampakkan perhiasannya kepada para
laki-laki penglihat, kecuali hal-hal yang dikecualikan bagi para laki-laki
penglihat. Selanjutnya, Allah swt mengecualikan perhiasan-perhiasan yang boleh
dilihat oleh laki-laki penglihat, pada frase selanjutnya. Hanya saja, para
ulama berbeda pendapat mengenai batasan perhiasan yang boleh ditampakkan oleh
wanita. Ibnu Mas’ud mengatakan, bahwa maksud frase “illa ma dzahara minha”
adalah dzaahir al-ziinah” (perhiasan dzahir), yakni baju. Sedangkan menurut
Ibnu Jabir adalah baju dan wajah. Sa’id bin Jabiir, ‘Atha’ dan Auza’iy
berpendapat; muka, kedua telapak tangan, dan baju.
Menurut Imam al-Nasafiy, yang
dimaksud dengan “al-ziinah” (perhiasan) adalah semua yang digunakan oleh wanita
untuk berhias, misalnya, cincin, kalung, gelang, dan sebagainya.Sedangkan yang
dimaksud dengan “al-ziinah” (perhiasan) di sini adalah “mawaadli’ al-ziinah”
(tempat menaruh perhiasan). Artinya, maksud dari ayat di atas adalah “janganlah
kalian menampakkan anggota tubuh yang biasa digunakan untuk menaruh perhiasan,
kecuali yang biasa tampak; yakni muka, kedua telapak tangan, dan dua mata
kaki”[4].
Syarat-syarat Menutup Aurat
Menutup aurat harus dilakukan
hingga warna kulitnya tertutup. Seseorang tidak bisa dikatakan melakukan “satru
al-’aurat” (menutup aurat) jika auratnya sekedar ditutup dengan kain atau
sesuatu yang tipis hingga warna kulitnya masih tampak kehilatan. Dalil yang
menunjukkan ketentuan ini adalah sebuah hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah
ra, ra bahwasanya Asma’ binti Abubakar telah masuk ke ruangan Nabi saw dengan
berpakaian tipis/transparan, lalu Rasulullah saw. berpaling seraya bersabda,
“Wahai Asma sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) tidak
pantas baginya untuk menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini.”
Dalam hadits ini, Rasulullah saw.
menganggap bahwa Asma’ belum menutup auratnya, meskipun Asma telah menutup
auratnya dengan kain transparan. Oleh karena itu lalu Nabi saw berpaling seraya
memerintahkannya menutupi auratnya, yaitu mengenakan pakaian yang dapat
menutupi .Dalil lain yang menunjukkan masalah ini adalah hadits riwayat Usamah,
bahwasanya ia ditanyai oleh Nabi saw tentang kain tipis. Usamah menjawab,
bahwasanya ia telah mengenakannya terhadap isterinya, maka Rasulullah saw.
bersabda kepadanya:
“Suruhlah isterimu melilitkan di
bagian dalam kain tipis, karena sesungguhnya aku khawatir kalau-kalau nampak
lekuk tubuhnya.”
Qabtiyah dalam lafadz di atas
adalah sehelai kain tipis. Oleh karena itu tatkala Rasulullah saw. mengetahui
bahwasanya Usamah mengenakan kepada isterinya kain tipis, beliau memerintahkan
agar kain itu dikenakan pada bagian dalam kain supaya tidak kelihatan warna
kulitnya. Beliau bersabda,”Suruhlah isterimu melilitkan di bagian dalamnya
kain tipis.” Kedua hadits ini menunjukkan dengan sangat jelas, bahwasanya aurat
harus ditutup dengan sesuatu, hingga warna kulitnya tidak tampak.
Khimar (Kerudung) dan Jilbab;
Busana Wanita Di Luar Rumah
Selain memerintahkan wanita untuk
menutup auratnya, syariat Islam juga mewajibkan wanita untuk mengenakan busana
khusus ketika hendak keluar rumah. Sebab, Islam telah mensyariatkan pakaian
tertentu yang harus dikenakan wanita ketika berada depan khalayak umum.
Kewajiban wanita mengenakan busana Islamiy ketika keluar rumah merupakan
kewajiban tersendiri yang terpisah dari kewajiban menutup aurat. Dengan kata
lain, kewajiban menutup aurat adalah satu sisi, sedangkan kewajiban mengenakan
busana Islamiy (jilbab dan khimar) adalah kewajiban di sisi yang lain. Dua
kewajiban ini tidak boleh dicampuradukkan, sehingga muncul persepsi yang salah
terhadap keduanya.
Dalam konteks “menutup aurat”
(satru al-’aurat), syariat Islam tidak mensyaratkan bentuk pakaian tertentu,
atau bahan tertentu untuk dijadikan sebagai penutup aurat. Syariat hanya
mensyaratkan agar sesuatu yang dijadikan penutup aurat, harus mampu menutupi
warna kulit.Oleh karena itu, seorang wanita Muslim boleh saja mengenakan
pakaian dengan model apapun, semampang bisa menutupi auratnya secara sempurna.
Hanya saja, ketika ia hendak keluar dari rumah, ia tidak boleh pergi dengan
pakaian sembarang, walaupun pakaian itu bisa menutupi auratnya dengan sempurna.
Akan tetapi, ia wajib mengenakan khimar (kerudung) dan jilbab yang dikenakan di
atas pakaian biasanya. Sebab, syariat telah menetapkan jilbab dan khimar
sebagai busana Islamiy yang wajib dikenakan seorang wanita Muslim ketika berada
di luar rumah, atau berada di kehidupan umum.
Walhasil, walaupun seorang wanita
telah menutup auratnya, yakni menutup seluruh tubuhnya, kecuali muka dan kedua
telapak tangan, ia tetap tidak boleh keluar keluar dari rumah sebelum
mengenakan khimar dan jilbab.
Perintah Mengenakan Khimar
Pakaian yang telah ditetapkan
oleh syariat Islam bagi wanita ketika ia keluar di kehidupan umum adalah khimar
dan jilbab. Dalil yang menunjukkan perintah ini adalah firman Allah swt;
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung
ke dadanya..”[al-Nuur:31]
Ayat ini berisi perintah dari
Allah swt agar wanita mengenakan khimar (kerudung), yang bisa menutup kepala,
leher, dan dada.
Imam Ibnu Mandzur di dalam kitab Lisaan
al-’Arab menuturkan; al-khimaar li al-mar`ah : al-nashiif (khimar bagi
perempuan adalah al-nashiif (penutup kepala). Ada pula yang menyatakan; khimaar
adalah kain penutup yang digunakan wanita untuk menutup kepalanya. Bentuk
pluralnya adalah akhmirah, khumr atau khumur. [5]
Khimar (kerudung) adalah ghitha’
al-ra’si ‘ala shudur (penutup kepala hingga mencapai dada), agar leher dan
dadanya tidak tampak.[6]
Dalam Kitab al-Tibyaan fi Tafsiir
Ghariib al-Quran dinyatakan;
“Khumurihinna, bentuk jamak
(plural) dari khimaar, yang bermakna al-miqna’ (penutup kepala).Dinamakan
seperti itu karena, kepala ditutup dengannya (khimar)..”[7]
Ibnu al-’Arabiy di dalam kitab
Ahkaam al-Quran menyatakan, “Jaib” adalah kerah baju, dan khimar adalah penutup
kepala . Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Aisyah ra, bahwasanya ia
berkata, “Semoga Allah mengasihi wanita-wanita Muhajir yang pertama. Ketika
diturunkan firman Allah swt “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung
mereka ke dada mereka”, mereka membelah kain selendang mereka”. Di dalam
riwayat yang lain disebutkan, “Mereka membelah kain mereka, lalu berkerudung
dengan kain itu, seakan-akan siapa saja yang memiliki selendang, dia akan
membelahnya selendangnya, dan siapa saja yang mempunyai kain, ia akan membelah
kainnya.” Ini menunjukkan, bahwa leher dan dada ditutupi dengan kain yang
mereka miliki.”[8]
Di dalam kitab Fath al-Baariy, al-Hafidz Ibnu
Hajar menyatakan, “Adapun yang dimaksud dengan frase “fakhtamarna bihaa” (lalu
mereka berkerudung dengan kain itu), adalah para wanita itu meletakkan kerudung
di atas kepalanya, kemudian menjulurkannya dari samping kanan ke pundak kiri. Itulah
yang disebut dengan taqannu’ (berkerudung). Al-Farra’ berkata,”Pada masa
jahiliyyah, wanita mengulurkan kerudungnya dari belakang dan membuka bagian
depannya. Setelah itu, mereka diperintahkan untuk menutupinya. Khimar
(kerudung) bagi wanita mirip dengan ‘imamah (sorban) bagi laki-laki.” [9]
Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir
Ibnu Katsir menyatakan;
“Khumur adalah bentuk jamak
(plural) dari khimaar; yakni apa-apa yang bisa menutupi kepala.Khimaar
kadang-kadang disebut oleh masyarakat dengan kerudung (al-miqaana’), Sa’id bin
Jabir berkata, “wal yadlribna : walyasydadna bi khumurihinna ‘ala juyuubihinna,
ya’ni ‘ala al-nahr wa al-shadr, fa laa yara syai` minhu (walyadlribna :
ulurkanlah kerudung-kerudung mereka di atas kerah mereka, yakni di atas leher
dan dada mereka, sehingga tidak terlihat apapun darinya).”[10]
Imam Syaukaniy dalam Fath
al-Qadiir, berkata;
“Khumur adalah bentuk plural dari
khimar; yakni apa-apa yang digunakan penutup kepala oleh seorang
wanita..al-Juyuub adalah bentuk jamak dari jaib yang bermakna al-qath’u min
dur’u wa al-qamiish (kerah baju)..Para ahli tafsir mengatakan; dahulu,
wanita-wanita jahiliyyah menutupkan kerudungnya ke belakang, sedangkan kerah
baju mereka bagian depan terlalu lebar (luas), hingga akhirnya, leher dan
kalung mereka terlihat. Setelah itu, mereka diperintahkan untuk mengulurkan
kain kerudung mereka di atas dada mereka untuk menutup apa yang selama ini
tampak”.[11]
Dalam kitab Zaad al-Masiir,
dituturkan;
“Khumur adalah bentuk jamak dari
khimar, yakni maa tughthiy bihi al-mar`atu ra`sahaa (apa-apa yang digunakan
wanita untuk menutupi kepalanya). Makna ayat ini (al-Nuur:31) adalah hendaknya
para wanita itu menjulurkan kerudungnya (al-miqna’) di atas dada mereka; yang
dengan itu, mereka bisa menutupi rambut, anting-anting, dan leher mereka.”[12]
Perintah Mengenakan Jilbab
Adapun kewajiban mengenakan
jilbab bagi wanita Mukminat dijelaskan di dalam surat al-Ahzab ayat 59. Allah
swt berfirman :
“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu,
anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka
lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah
Maha pengampun lagi Maha penyayang”.[al-Ahzab:59]
Ayat ini merupakan perintah yang
sangat jelas kepada wanita-wanita Mukminat untuk mengenakan jilbab. Adapun yang
dimaksud dengan jilbab adalah milhafah (baju kurung) dan mula’ah (kain panjang
yang tidak berjahit). Di dalam kamus al-Muhith dinyatakan, bahwa jilbab itu seperti
sirdaab (terowongan) atau sinmaar (lorong), yakni baju atau pakaian longgar
bagi wanita selain baju kurung atau kain apa saja yang dapat menutup pakaian
kesehariannya seperti halnya baju kurung.”[Kamus al-Muhith]. Sedangkan dalam
kamus al-Shahhah, al-Jauhari mengatakan, “jilbab adalah kain panjang dan
longgar (milhafah) yang sering disebut dengan mula’ah (baju kurung).”[Kamus
al-Shahhah, al-Jauhariy]
Di dalam kamus Lisaan al-’Arab
dituturkan; al-jilbab ; al-qamish (baju); wa al-jilbaab tsaub awsaa’ min
al-khimaar duuna ridaa’ tughthi bihi al-mar`ah ra’sahaa wa shadrahaa (baju yang
lebih luas daripada khimar, namun berbeda dengan ridaa’, yang dikenakan wanita
untuk menutupi kepala dan dadanya.” Ada pula yang mengatakan al-jilbaab: tsaub
al-waasi’ duuna milhafah talbasuhaa al-mar`ah (pakaian luas yang berbeda dengan
baju kurung, yang dikenakan wanita). Ada pula yang menyatakan; al-jilbaab :
al-milhafah (baju kurung).[13]
Al-Zamakhsyariy, dalam tafsir
al-Kasysyaf menyatakan, “Jilbab adalah pakaian luas, dan lebih luas daripada
kerudung, namun lebih sempit daripada rida’ (juba).[14]
Imam Qurthubiy di dalam Tafsir Qurthubiy
menyatakan, “Jilbaab adalah tsaub al-akbar min al-khimaar (pakaian yang lebih
besar daripada kerudung). Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Mas’ud,
jilbaab adalah ridaa’ (jubah atau mantel). Ada pula yang menyatakan ia adalah
al-qanaa’ (kerudung). Yang benar, jilbab adalah tsaub yasturu jamii’ al-badan
(pakaian yang menutupi seluruh badan). Di dalam shahih Muslim diriwayatkan
sebuah hadits dari Ummu ‘Athiyyah, bahwasanya ia berkata, “Ya Rasulullah ,
salah seorang wanita diantara kami tidak memiliki jilbab.Nabi
menjawab,”Hendaknya, saudaranya meminjamkan jilbab untuknya”.[15]
Dalam Tafsir Ibnu Katsir, Imam Ibnu Katsir
menyatakan, “al-jilbaab huwa al-ridaa` fauq al-khimaar (jubah yang dikenakan di
atas kerudung). Ibnu Mas’ud, ‘Ubaidah, Qatadah, al-Hasan al-Bashriy, Sa’id bin
Jabiir, Ibrahim al-Nakha’iy, ‘Atha’ al-Khuraasaniy, dan lain-lain, berpendapat
bahwa jilbab itu kedudukannya sama dengan (al-izaar) sarung pada saat ini.
Al-Jauhariy berkata, “al-Jilbaab; al-Milhafah (baju kurung).”[16]
Imam Syaukani, dalam Tafsir Fathu al-Qadiir,
mengatakan;
“Al-jilbaab wa huwa al-tsaub
al-akbar min al-khimaar (pakaian yang lebih besar dibandingkan kerudung).
Al-Jauhari berkata, “al-Jilbaab; al-milhafah (baju kurung). Ada yang menyatakan
al-qanaa’ (kerudung), ada pula yang menyatakan tsaub yasturu jamii’ al-badan
al-mar`ah.”[17]
Al-Hafidz al-Suyuthiy dalam
Tafsir Jalalain berkata;
” Jilbaab adalah al-mulaa`ah
(kain panjang yang tak berjahit) yang digunakan selimut oleh wanita, yakni,
sebagiannya diulurkan di atas wajahnya, jika seorang wanita hendak keluar untuk
suatu keperluan, hingga tinggal satu mata saja yang tampak”[18]
Ancaman Bagi Orang yang Membuka
Auratnya
Imam Muslim menuturkan sebuah
riwayat, bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
“Ada dua golongan manusia yang menjadi
penghuni neraka, yang sebelumnya aku tidak pernah melihatnya; yakni, sekelompok
orang yang memiliki cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk menyakiti
umat manusia; dan wanita yang membuka auratnya dan berpakaian tipis merangsang
berlenggak-lenggok dan berlagak, kepalanya digelung seperti punuk onta. Mereka
tidak akan dapat masuk surga dan mencium baunya. Padahal, bau surga dapat
tercium dari jarak sekian-sekian.”[HR. Imam Muslim].
Di dalam Syarah Shahih Muslim,
Imam Nawawiy berkata, “Hadits ini termasuk salah satu mukjizat kenabian.
Sungguh, akan muncul kedua golongan itu. Hadits ini bertutur tentang celaan
kepada dua golongan tersebut. Sebagian ‘ulama berpendapat, bahwa maksud dari
hadits ini adalah wanita-wanita yang ingkar terhadap nikmat, dan tidak pernah
bersyukur atas karunia Allah.Sedangkan ulama lain berpendapat, bahwa mereka
adalah wanita-wanita yang menutup sebagian tubuhnya, dan menyingkap sebagian
tubuhnya yang lain, untuk menampakkan kecantikannya atau karena tujuan yang
lain. Sebagian ulama lain berpendapat, mereka adalah wanita yang mengenakan
pakaian tipis yang menampakkan warna kulitnya (transparan)…Kepala mereka
digelung dengan kain kerudung, sorban, atau yang lainnya, hingga tampak besar
seperti punuk onta.”
Imam Ahmad juga meriwayatkan
sebuah hadits dari Abu Hurairah dengan redaksi berbeda.
“Ada dua golongan penghuni neraka, yang aku
tidak pernah melihat keduanya sebelumnya. Wanita-wanita yang telanjang,
berpakaian tipis, dan berlenggak-lenggok, dan kepalanya digelung seperti punuk
onta. Mereka tidak akan masuk surga, dan mencium baunya. Dan laki-laki yang
memiliki cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk menyakiti umat manusia
“[HR. Imam Ahmad]
Hadits-hadits di atas merupakan
ancaman yang sangat keras bagi wanita yang menampakkan sebagian atau
keseluruhan auratnya, berbusana tipis, dan berlenggak-lenggok.
Kesimpulan
Syariat Islam telah mewajibkan
wanita untuk menutup anggota tubuhnya yang termasuk aurat. Seorang wanita
diharamkan menampakkan auratnya di kehidupan umum, di hadapan laki-laki non
mahram, atau ketika ia melaksanakan ibadah-ibadah tertentu yang mensyaratkan
adanya satru al-’aurat (menutup aurat).
Aurat wanita adalah seluruh tubuh
kecuali muka dan kedua telapak tangan. Seseorang baru disebut menutup aurat,
jika warna kulit tubuhnya tidak lagi tampak dari luar. Dengan kata lain,
penutup yang digunakan untuk menutup aurat tidak boleh transparan hingga warna
kulitnya masih tampak; akan tetapi harus mampu menutup warna kulit.
Ancaman bagi yang tidak menurut
aurat adalah tidak mencium bau surge alias neraka, karena tidak amanah, tidak
tunduk kepada aturan sang Kholik.
Kerennn
BalasHapus